Sabtu, 24 April 2010

Makalah Pragmatik “Maksim Kerjasama”

PENDAHULUAN

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan dalam Putu,1996).

Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di telinga. Ilmu ini muncul untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang mulai "angkat tangan" terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah atau tidak sesuai dengan prinsip.

Pernyataan Allan yang berbunyi "Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu…", menggambarkan bahwa penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan sering terjadi. Penyimpangan dalam tuturan memang sering terjadi, baik itu secara struktur kalimat atau pun terhadap prinsip. Penyimpangan terhadap struktur kalimat sudah tentu dapat diatasi oleh ilmu sintaksis dan "kawan-kawan", namun beda lagi dengan pelanggaran terhadap prinsip. Pelanggaran terhadap prinsip ini hubungannya dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu yang cocok untuk menangani masalah ini adalah ilmu pragmatik.


 

PEMBAHASAN

Pengertian Pragmatik

Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, dan bagaimana.

Dalam tulisan Putu Wijana diungkapkan bahwa ilmu pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual secara eksternal. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation).

Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).

Leech (1983: 6) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.

Pengertian Maksim

    Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.

Maksim Kerja Sama

Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), serta selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya.

Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar.

Grice berpendapat bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).

a. Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya atau pembicara memberikan informasi yang cukup, relatif dan seinformatif mungkin.

Contoh yang sesuai:

    A : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?

    B : Ya, sudah.

Contoh yang tidak sesuai:

    A : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?

B : Belum. Kemarin saya berlibur di rumah nenek di Yogya. Sampai rumah sudah larut sehingga saya tidak sempat mengerjakan tugas.

b. Maksim Kualitas

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila patuh pada prinsip ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu kurang benar atau tidak benar.

Contoh yang sesuai:

    A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?

    B : di ITB.

Contoh yang tidak sesuai:

    A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?

    B : Dia tidak kuliah di UNJ seperti kita, tapi di ITB.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur dapat memberikan kontribusi yang relevan (sesuai) tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan.

Contoh yang sesuai:

    A : Dimana kotak permenku?

    B : Di kamar belajarmu.

Contoh yang tidak sesuai:

    A : Dimana kotak permenku?

    B : Saya harus segera pergi kuliah.

d. Maksim Pelaksanaan

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

Contoh yang sesuai:

    A : Siapa teman Anda yang orang Korea itu?

    B : KIM EOK SOO

Contoh yang tidak sesuai:

A : Siapa teman Anda yang orang Korea itu?

    B : K-I-M E-O-K S-O-O

Penerapan Maksim Kerja Sama

    Selain contoh-contoh yang telah penulis kemukakan di atas, dalam makalah ini pun penulis memberikan contoh penerapan maksim kerja sama yang lebih konkrit yang diambil dari sebuah skripsi karya Hidayati dengan judul "ANALISIS PRAGMATIK HUMOR NASRUDDIN HOJA" yang didapat melalui internet dengan alamat berikut:

"http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=25994242"

Penciptaan Kelucuan dengan Maksim Kerja Sama

    Penciptaan efek lucu pada wacana humor bisa dilakukan dengan melanggar maksim-maksim percakapan Grice. Bila dilihat dari pandangan Grice tentang kaidah-kaidah maksim percakapan, banyak pelanggaran yang dilakukan oleh Nasruddin. Namun demikian, dalam beberapa humornya, Nasruddin tetap mematuhi maksim-maksim percakapan Grice.

  1. Penciptaan Kelucuan dengan Maksim Kuantitas

    Seperti diketahui bersama bahwa dalam percakapan dengan orang lain diharapkan memberikan respons atau jawaban secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur.

Penyelundup

Ada kabar angin bahwa Nasruddin juga berprofesi sebagai penyelundup. Maka, setiap kali Nasruddin melewati batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak ada hal mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar, Nasruddin memang sering harus melintasi batas wilayah.

Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya. "Aku tahu, Mullah, engkau penyelundup. Tetapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu.

Sekarang, jawablah kepenasaranku, apa yang engkau selundupkan?"

"Jubah," jawab Nasruddin serius.

                                    (CJNH:41)

    Wacana di atas juga dengan jelas menunjukkan terjadinya maksim kuantitas. Pada sebuah percakapan Nasruddin menjawab secukupnya saja. Nasruddin ditanya; "….apa yang engkau selundupkan?" Lalu Nasruddin menjawab; "Jubah." Jawaban itu singkat dan cukup untuk menjawab sebuah pertanyaan yang tersebut di atas. Kepatuhan Nasruddin pada maksim kuantitas itulah yang sekaligus menjadi letak kelucuan dari cerita "Penyelundup" di atas. Tidak terpikirkan oleh si penjaga gerbang kalau yang diselundupkan Nasruddin itu adalah jubah. Penjaga gerbang tidak pernah curiga atau setidaknya timbul sebuah pertanyaan mengapa Nasruddin selalu memakai jubah berlapis-lapis padahal si penjaga sudah mengetahui bahwa Nasruddin adalah seorang penyelundup. Dalam pikiran penjaga Nasruddin itu menyelundupkan barang-barang berharga, obat-obatan terlarang atau lainnya yang pasti bukan jubah. Karena presuposisi yang salah, si penjaga tidak menemukan bukti untuk menangkap Nasruddin. Presuposisi yang salah dari penjaga ditambah kejujuran Nasruddin itulah yang menjadikan lucu cerita "Penyelundup" di atas.

  1. Penciptaan Kelucuan dengan Maksim Kualitas

Maksim kualitas mengharuskan setiap partisipan komunikasi mengatakan hal yang sebenarnya. Seperti halnya pada penciptaan kelucuan dengan maksim kuantitas, Nasruddin dapat menciptakan humornya baik dengan mematuhi maupun melanggar maksim kualitas.

Ingin yang Instan

Suatu pagi, Nasruddin didapati tetangganya sedang memberi minum ayamnya dengan air panas. Si tetangga heran dan bertanya, "Wahai Nasruddin, mengapa Anda memberi minum ayam itu dengan air panas?"

"Aku ingin ketika nanti ia bertelur, yang keluar langsung telur rebus!"

Si tetangga hanya bisa melongo.

                                (TMHBNH:80)

Pertanyaan tetangga Nasruddin yang heran dengan kelakuannya dijawab Nasruddin dengan yang sebenarnya menurut pemikirannya. Bukan Nasruddin kalau tidak punya hal-hal yang aneh sehingga menjadi pertanyaan banyak orang. Hanya orang-orang yang mampu mengambil makna yang mendalam saja yang menilai jawaban Nasruddin itu tidak aneh, justru jawaban Nasruddin itu mengandung nasihat yang fenomenal. Bahwa manusia sangat suka dengan yang instan-instan dalam memenuhi semua keinginannya, tapi perlu diingat jangan memilih cara instan yang merugikan atau menyesatkan.

Satu Sen Hilang

Ketika sedang duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai, Nasruddin melihat sepuluh orang buta ingin menyeberangi sungai. Dia mewarkan bantuan kepada mereka dengan bayaran satu sen per orang.

Mereka setuju, dan sang Mullah pun memulai pekerjaannya.

Sembilan orang telah selamat sampai ke tepi sungai. Tetapi orang kesepuluh rupanya memiliki sifat nyleneh. Ketika diberi tahu agar melangkah ke kiri, dia melangkah ke kanan sehingga dia terpeleset ke sungai dan hanyut dibawa air.Merasa ada sesuatu yang salah, kesembilan orang yang selamat mulai berteriak, "Apa yang terjadi Mullah?"

"Aku kehilangan uang satu sen."

                                    (CJNH:25)

Ada dua kemungkinan jawaban Nasruddin pada cerita di atas yaitu, antara Nasruddin patuh dan melanggar maksim kualitas. Kalau dilihat dari kepentingan sekelompok orang buta yang butuh keselamatan semua anggotanya, jelas Nasruddin melanggar maksim kualitas karena dia tidak mengatakan yang sebenarnya terjadi. Nasruddin tidak mengatakan kalau satu anggota dari sepuluh orang buta yang harus dia seberangkan hanyut di sungai. Kalau dilihat dari kepentingan Nasruddin yang membutuhkan uang, dia tidak melanggar maksim kualitas karena Nasruddin menjawab yang sebenarnya terjadi. Nasruddin memang kehilangan uang satu sen gara-gara orang buta yang dia seberangkan terpeleset dan hanyut di sungai. Implikasi Nasruddin adalah implikasi yang logis dan sebuah hubungan yang mutlak bahwa satu orang buta sama dengan uang satu sen.

  1. Penciptaan Kelucuan dengan Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan untuk memberikan respons atau jawaban yang relevan dengan topik percakapan. Namun terkadang jawaban yang diberikan tidak secara eksplisit, sebab sudah ada pengetahuan yang sama antara penutur dan lawan tutur tentang topik pembicaraan.

Ayam Betina dan Ayam Jantan

Nasruddin diajak teman-temannya ke sebuah pemandian Turki. Tanpa sepengetahuan Nasruddin, teman-temannya masing-masing membawa sebutir telur.

Ketika mereka sudah memasuki kamar mandi uap, temannya berkata, "Ayo, kita sama-sama membayangkan bahwa kita semua ini ayam betina yang sedang bertelur. Siapa yang gagal bertelur, dia harus membayar ongkos mandi untuk semua orang yang ada di ruang ini."

Nasruddin setuju.

Tak lama kemudian, masing-masing temannya mulai menunjukkan telurnya. Ketika mereka meminta Nasruddin menunjukkan hasil kerjanya. Nasruddin berkokok menirukan suara ayam.

"Di antara begitu banyak ayam betina," kata Nasruddin, "tentu harus ada ayam jantannya."

                                    (CJNH:144)

Jawaban Nasruddin tersebut di atas adalah sebuah jawaban yang relevan. Teman-teman Nasruddin mengajak bermain ayam betina bertelur tetapi itu untuk mengelabui Nasruddin saja karena mereka ingin mandi uap dengan gratis. Semua sudah mempersiapkan telur dan mengeluarkannya kecuali Nasruddin. Nasruddin yang cerdas segera mencari akal dan hasilnya dia berkokok seperti ayam jantan. Alasannya, di antara begitu banyak ayam betina yang bertelur tentu ada ayam jantan. Jadi, dalam cerita ini Nasruddin tidak melakukan pelanggaran terhadap maksim relevansi karena dia memberikan kontribusi yang relevan sesuai dengan topik pembicaraan.

Jawaban Nasruddin di atas juga sebuah implikasi yang logis dan mempunyai hubungan yang bersifat mutlak. Adanya ayam betina yang bertelur pasti ada peran ayam jantan karena tidak mungkin ayam betina bertelur tanpa dibuahi ayam jantan terlebih dahulu.

Aku Bukan Pedagang Hari dan Bulan

"Hari apa dan bulan apa sekarang?" Tanya seorang laki-laki kepada Nasruddin.

"Kalau aku pedagang hari dan bulan, tentu akan aku jawab pertanyaanmu itu,"jawab Nasruddin.

                                    (CJNH:77)

Percakapan di atas, Nasruddin tidak lagi mematuhi maksim relevansi artinya, Nasruddin sebagai peserta komunikasi tak lagi memberikan respons atau jawaban yang relevan. Ketika ditanya; "Hari apa dan bulan apa sekarang?" Nasruddin malah menjawab tidak sesuai dengan pertanyaan, "Kalau aku pedagang hari dan bulan, tentu akan aku jawab pertanyaanmu itu." Seseorang bertanya kepada Nasruddin tentang hari dan bulan apa sekarang, seharusnya Nasruddin cukup menjawab, misalnya senin bulan Mei atau mungkin yang lainnya, bukannya menjawab seperti yang tersebut tadi. Jawaban Nasruddin itu sungguh tidak relevan dengan pertanyaan yang diajukan oleh seseorang. Ditambah lagi mana ada orang yang berdagang hari dan bulan karena memang hari dan bulan bukanlah barang dagangan. Itu adalah sebuah ungkapan yang tidak logis. Dari nada jawaban Nasruddin, dia sedang kesal. Bisa jadi Nasaruddin sedang kesal dengan orang yang bertanya itu sehingga dia menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang tidak sesuai. Tentang pertanyaan hari dan bulan Nasruddin mengimplikasikan seseorang yang bertanya itu adalah seorang pembeli, karena Nasruddin bukan seorang penjual atau pedagang maka dia menjawab; "Kalau aku pedagang hari dan bulan, tentu akan aku jawab pertanyaanmu itu." Kelucuan cerita di atas tercipta dari pelanggaran Nasruddin terhadap maksim relevansi.

  1. Penciptaan Kelucuan dengan Maksim Pelaksanaan

    Maksim pelaksanaan adalah maksim yang mengharuskan bahwa setiap peserta percakapan dapat memberikan informasi secara langsung, tidak taksa, dan runtut. Apabila hal ini dilanggar tentunya orang tersebut mempunyai tujuan tertentu.

Malu kepada Allah

Ketika Nasruddin sedang duduk-duduk di depan rumahnya, seorang tetangganya yang terkenal kaya raya mendatanginya dan memberinya 500 dirham sambil berkata,"Aku mohon keikhlasan Anda mendoakan kebaikan dan kejayaan untukku setiap Anda selesai shalat lima waktu."

Nasruddin menerima uang itu, menghitungnya, lalu menyisihkan 100 dirham dan mengembalikannya kepada si pemberi. Si tetangga kaya itu bingung.

"Lo, kok dikembaliin?"

"Aku malu kepada Allah karena shalat subuhku sering terlambat, jadi aku terima uang ini hanya untuk empat waktu shalat saja," jawab Nasruddin.

                            (HJNH:138)

    Nasruddin mematuhi maksim pelaksanaan dalam wacana di atas. Dia memberikan respon atau jawaban dengan jelas. Dia tidak mau menerima uang yang seratus dirham karena dia sadar kalau salah satu salatnya sering terlambat. Permintaan si pemberi uang 500 dirham kepada Nasruddin untuk mendoakannya setiap selesai salat lima waktu itu membuat Nasruddin beranalogi bahwa setiap doanya habis salat lima waktu itu seharga seratus dirham. Karena salat subuh Nasruddin sering terlambat, dia sangat malu kepada Allah untuk berdoa. Oleh karena itu, dia mengembalikan yang seratus dirham sebab dia tidak menyanggupi doa yang setelah salat subuh. Sangat jelas Nasruddin memberikan alasan atau jawaban kenapa dia menegembalikan yang seratus dirham kepada tetangga yang memberinya uang itu. Kepatuhan Nasruddin terhadap maksim pelaksanaan dalam cerita di atas mungkin tidak banyak mengundang tawa tetapi hanya tersenyum kemudian memikirkan sejenak arti dari kisah Nasruddin tersebut. Banyak pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nasruddin tersebut kalau mau mempelajari lebih dalam disamping bisa tersenyum karena terhibur.

Cara Tuhan

Pada suatu hari empat anak laki-laki mendekati Mullah dan memberinya sekantong kenari sambil bertanya: "Mullah, kami tidak bisa membagi kenari ini secara merata di antara kami, dapatkah Anda menolong kami?"

Mullah balik tanya, "Distribusinya apa ingin menurut cara Tuhan atau cara makhluk hidup?"

"Cara Tuhan," jawab anak-anak.

Mullah Nasruddin membuka kantong dan memberikan dua genggam kenari kepada seorang anak, segenggam kepada yang lain, hanya dua butir kenari kepada anak yang ketiga dan satu butir kepada anak keempat.

"Pembagian macam apa ini Mullah?" tanya anak-anak keheranan.

"Ya, inilah cara Tuhan!" jawab Hodja, "Beberapa orang diberi banyak, beberapa orang lagi sedikit, dan tidak sama sekali kepada yang lainnya. Jika kalian meminta cara makhluk hidup aku akan berikan sama banyaknya untuk setiap orang."

                                    (SBNH:38)

    Maksim pelaksanaan tetap dipatuhi Nasruddin dalam cerita ini. Dia menjelaskan dengan jelas, runtut, dan tidak taksa pertanyaan anak-anak atas apa yang telah diperbuatnya. Anak-anak memilih pembagian dengan cara Tuhan karena anak-anak mengira nanti pasti pembagian kenari tersebut adil karena mereka tau Tuhan itu Mahaadil. Selesai Nasruddin membagikan kenari pada setiap anak, mereka bertanya kepada Nasruddin karena pembagian tidak sesuai yang mereka kira. Kemudian Nasruddin menjelaskan bahwa pembagian yang tidak merata itulah yang disebut pembagian cara Tuhan. Nasruddin menyamakan pembagian kenari itu dengan cara Tuhan membagikan rizki kepada manusia. Tuhan membagikan kepada sebagian manusia dengan rizki yang banyak sekali yang disebut si kaya, sebagian manusia lagi diberi rizki yang sedang-sedang saja, dan sebagian yang lain diberi rizki yang sedikit atau disebut si miskin. Begitupun cara Nasruddin membagikan kenari kepada anak-anak. Andaikan anak-anak tadi meminta pembagian cara manusia maka, Nasruddin akan membagikan kenari itu sama banyaknya pada masing-masing anak karena keinginan manusia selalu merata dalam setiap pembagian. Ada dua maksud yang ingin disampaikan Nasruddin lewat cerita di atas. Pertama, Nasruddin ingin menyampaikan arti adil yang disandang Tuhan. Adil bukan berarti pembagian itu sama banyaknya atau merata. Adil adalah pembagian sesuai kebutuhan dan kemampuan. Kedua, cerita di atas adalah ekspresi Nasruddin atas kemiskinan yang dia rasakan sekarang. Tuhan memberikannya rizki yang sedikit sehingga dia hidup dalam keprihatinan, sedangkan yang lain diberikan rizki yang banyak bahkan berlebihan. Kedua maksud itulah yang dapat disimpulkan dari cerita di atas. Kelucuan sekaligus pelajaran yang baik dimunculkan Nasruddin dengan tetap mematuhi maksim pelaksanaan.

Selanjutnya, kalau dilihat pada data "Toko Serba Ada", "Penyelundup", dan "Kakiku yang Sebelah Kiri Belum Berwudhu" setiap peserta percakapan disiplin dengan maksim pelaksanaan. Setiap peserta berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, secara runtut dan tidak berlebih-lebihan. Namun pada data "Satu Sen Hilang" terlihat Nasruddin tidak lagi mematuhi maksim pelaksanaan. Dia memberikan jawaban yang sifatnya taksa. Pada data "Besok Suaranya Terdengar" dan "Nasruddin di Liang Lahat" Nasruddin memberikan jawaban yang sifatnya kabur atau tidak jelas. Dilihat dari beberapa cerita di atas, Nasruddin disiplin ataupun melanggar maksim pelaksanaan dia tetap bisa menciptakan kelucuan di setiap cerita.


 

KESIMPULAN

Salah satu kaidah berbahasa adalah seorang penutur harus selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami sehingga lawan tuturnya dapat memahami maksud tuturan. Demikian pula dengan lawan tutur, ia harus memberikan jawaban atau respons dengan apa yang dituturkan oleh penutur. Bila keduanya tidak ada saling pengertian maka tidak akan terjadi komunikasi yang baik. Oleh sebab itu diperlukan semacam kerja sama antara penutur dengan lawan tutur agar proses komunikasi itu berjalan secara lancar.

Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik, justru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa penutur melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa penutur yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan kepada mitra tutur biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas? Pada intinya, untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam komunikasi harus memenuhi prinsip (maksim).

Kepatuhan dan pelanggaran yang dilakukan Nasruddin terhadap maksim-maksim percakapan adalah disengaja sebagai bentuk penyaluran kreativitas dan imajinatif untuk memperoleh keunikan yang mengundang senyum, tawa, dan ketidakterdugaan bagi pembacanya.


 

DAFTAR REFERENSI

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Rahardi, R. Kunjana. 2005. PRAGMATIK: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Chaniago, Sam Mukhtar. 1997. Materi Pokok Pragmatik. Jakarta: Universitas Terbuka

Trisaparudin. 2010. Makalah Pragmatik. www.scribd.com, diakses pada 21 Maret 2010.

Hidayanti. 2009. Analisis Pragmatik Humor Nasruddin Hoja. www.docstoc.com, diakses 21 Maret 2010.

http://azkahafizah.wordpress.com/2009/05/30/prinsip-kerjasama-cs-prinsip-kesopanan-sebuah-analisis-pramatik-terhadap-tuturan-masyarakat-sunda/

http://community.gunadarma.ac.id/blog/view/id_590/title_%22waw-pragmatic-%22/

Tugas UTS 1 Mata Kuliah Pragmatik

BAB 1

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Sebagai alat komunikasi bahasa digunakan sebagai alat penyampaian pesan dari diri seseorang kepada orang lain, atau dari penutur kepada pendengar dan dari penulis ke pembaca. Manusia berinteraksi untuk menyampaikan informasi. Selain itu, orang dapat mengemukakan ide-idenya, baik secara lisan maupun secara tulisan/gambar.

Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (menyebutnya fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah atau gembira (Chaer, 2004 : 15).

Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Di sini bahasa itu tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan sesuai dengan yang dimaui si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur denan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan (Chaer, 2004 : 15-16).

Jika dikaitkan antara penutur dan lawan bicara akan terbentuk suatu tindak tutur dan peristiwa tutur. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan tersebut merupakan isi pembicaraan.

Berkaitan dengan tindak tutur, pada penelitian ini akan dianalisa tindak tutur pada dialog dalam novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani. Judul pada penelitian ini adalah "Analisa Tindak Tutur pada Dialog dalam Novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani. Kami memilih judul ini, karena menurut kami, judul ini menarik untuk diteliti.

  1. Tujuan

Penelitian ini memiliki dua tujuan yakni tujuan umum dan khusus, adapun tujuan umumnya adalah untuk mendeskripsikan tindak tutur pada dialog dalam novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani . Sedangkan tujuan khususnya antara lain ;

  • Mendeskripsikan bentuk tindak tutur lokusi dalam dialog novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani.
  • Mendeskripsikan bentuk tindak tutur ilokusi dalam dialog novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani.
  • Mendeskripsikan bentuk tindak tutur perlokusi dalam dialog novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani.
  1. Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

  • Apakah ada dan bagaimana persentase kemunculan tindak tutur lokusi dalam novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani?
  • Apakah ada dan bagaimana persentase kemunculan tindak tutur ilokusi dalam film novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani ?
  • Apakah ada dan bagaimana persentase kemunculan tindak tutur perlokusi dalam novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani ?


 

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1.    Hakikat Pragmatik

Pragmatik mulai berkembang dalam bidang kajian linguistik pada tahun 1970-an. Kehadirannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan terhadap kaum strukturalis yang hanya mengkaji bahasa dari segi bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan kebahasaan itu sebenarnya hadir dalam konteks yang bersifat lingual maupun extralingual. Diabaikannya konteks tuturan menyebabkan kaum strukturalis gagal menjelaskan berbagai masalah kebahasaan, di antaranya adalah masalah kalimat anomali.

Perkembangan lebih lanjut tentang pragmatik memunculkan berbagai batasan. Leech dalam terjemahan Oka (1993:32) mengemukakan bahwa, "Pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar atau speech situations." Lubis (1991:4) menambahkan bahwa bahasa merupakan gejala sosial dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor linguistik saja seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi.

Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1987:33), pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pendapat lain dikemukakan oleh Wijana (1996:14) yang mengatakan bahwa pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau injeksi. Ia juga mengatakan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi.

Rustono (1999:5) mengatakan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan timbal balik antara fungsi dan bentuk tuturan. Gunarwan dalam Rustono (1999:4) menambahkan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan (timbal balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran.

Beberapa pendapat di atas walaupun dengan pernyataan yang berbeda tetapi pada dasarnya menunjukkan kesamaan pandangan, sebab kajian pragmatik mengacu pada penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan konteks. Jadi dapat disimpulkan, pragmatik adalah ilmu yang menelaah bagaimana keberadaan konteks mempengaruhi dalam menafsirkan kalimat. Di sinilah letak perbedaan pragmatik dengan semantik, sebab telaah semantik bersifat bebas konteks. Dengan kata lain, persoalan yang dikaji oleh semantik adalah makna kata-kata yang dituturkan, dan bukan maksud tuturan penutur. Analisis terhadap humor Nasruddin sangat tepat bila menggunakan pendekatan pragmatik. Untuk memahami bahwa humor-humor Nasruddin tidak semata-mata untuk melucu tetapi juga mengandung maksud dan tujuan, diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melatarbelakangi humor tersebut. Pemahaman terhadap konteks merupakan salah satu ciri pendekatan pragmatik.

2.2.    Aspek-aspek Pragmatik

Beberapa aspek situasi tutur seperti di bawah ini:

  • Penutur dan lawan tutur

    Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

  • Konteks tuturan

    Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.


     

  • Tujuan tuturan

    Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.

  • Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur

    Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar. Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.

  • Tuturan sebagai produk tindak verbal

    Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya.(Leech, 1993:19)

Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.

2.3.    Teori Tindak Tutur

Tindak tutur dilakukan setiap orang sejak bangun pagi sampai tidur kembali. Ribuan kalimat telah diucapkan selama sehari. Tidak pernah dipikirkan bagaimana terjadinya kalimat-kalimat yang diucapkan, kenapa kalimat tertentu diucapkan, bagaimana kalimat itu dapat diterima lawan tutur dan bagaimana lawan tutur mengolah kalimat-kalimat itu kemudian memberikan jawaban terhadap rangsangan yang diberikan, sehingga dengan demikian dapat berdialog berjam-jam lamanya. Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi (Wijana, 1996:17).

  • Tindak Lokusi (locutionary act)

    Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of saying something. Dalam tindak lokusi, tuturan dilakukan hanya untuk menyatakan sesuatu tanpa ada tendensi atau tujuan yang lain, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi relatif mudah untuk diindentifikasikan dalam tuturan karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur (Parker melalui Wijana, 1996:18). Dalam kajian pragmatik, tindak lokusi ini tidak begitu berperan untuk memahami suatu tuturan.

  • Tindak Ilokusi (illocutionary act)

    Tindak ilokusi ialah tindak tutur yang tidak hanya berfungsi untuk menginformasikan sesuatu namun juga untuk melakukan sesuatu. Tuturan ini disebut sebagai The act of doing something. Contoh, kalimat 'Saya tidak dapat datang' bila diucapkan kepada teman yang baru saja merayakan pesta pernikahannya tidak saja berfungsi untuk menyatakan bahwa dia tidak dapat menghadiri pesta tersebut, tetapi juga berfungsi untuk melakukan sesuatu untuk meminta maaf. Tindak ilokusi sangat sukar dikenali bila tidak memperhatikan terlebih dahulu siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya.

    Searle dalam Leech (1993:164-166) membagi tindak ilokusi ini menjadi lima yaitu asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi.

  1. Tindak asertif merupakan tindak yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, artinya tindak tutur ini mengikat penuturnya pada kebenaran atas apa yang dituturkannya (seperti menyatakan, mengusulkan, melaporkan)
  2. Tindak komisif ialah tindak tutur yang berfungsi mendorong penutur melakukan sesuatu. Ilokusi ini berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena tidak mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan lawan tuturnya (seperti menjanjikan, menawarkan, dan sebagainya)
  3. Tindak direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong lawan tutur melakukan sesuatu. Pada dasarnya, ilokusi ini bisa memerintah lawan tutur melakukan sesuatu tindakan baik verbal maupun nonverbal (seperti memohon, menuntut, memesan, menasihati)
  4. Tindak ekspresif merupakan tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap lawan tutur (seperti mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam)
  5. Tindak deklaratif ialah tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan atau membenarkan sesuatu tindak tutur yang lain atau tindak tutur sebelumnya. Dengan kata lain, tindak deklaratif ini dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal, status, keadaan yang baru (seperti memutuskan, melarang, mengijinkan).

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman terhadap tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.

  • Tindak Perlokusi (perlocutionary act)

    Tindak perlokusi yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat (Nababan dalam Lubis, 1999:9). Tuturan ini disebut sebagai The act of affecting someone. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan perlokusi. Tindak perlokusi ini biasa ditemui pada wacana iklan. Sebab wacana iklan meskipun secara sepintas merupakan berita tetapi bila diamati lebih jauh daya ilokusi dan perlokusinya sangat besar.


 

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.    Identitas Novel dan Sinopsis

    Judul Novel    :    The Bookaholic Club

    Penulis    :    Poppy D. Chusfani

    Penerbit    :    Gramedia Pustaka Utama

    Terbit        :    Jakarta, Oktober 2007

Sinopsis

Des penyihir. Tori gugup dan culun. Chira bisa melihat hantu. Erin luar biasa cantik dan populer. Keempat remaja yang tampaknya bertolak belakang ini ternyata memiliki kesamaan, merasa terkucil dan mencintai buku. Tanpa sengaja mereka berkawan.

Tanpa sengaja? Itu pikir mereka. Ada yang sengaja mempertemukan mereka, demi tugas yang harus mereka hadapi. Tugas mengerikan yang akan menghadapkan mereka pada situasi hidup dan mati, mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Keempat remaja yang menyebut diri sebagai The Bookaholic Club ini akan melakukan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekedar mendikusikan buku.

3.2.    Teknik Pengumpulan Data

    Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan tabel, yang terdiri atas percakapan, tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Percakapan yang dijadikan data analisis tidak semua diambil dari novel "The Bookaholic Club" seluruhnya, tetapi hanya sedikit sampel dialog yang diambil dengan cara random atau acak.

Dibawah ini merupakan tabel klasifikasi yang akan dijadikan panduan.

N

O

PERCAKAPAN

LOKUSI

ILOKUSI

PERLOKUSI

       
       


 

3.3.    Teknik Analisa Data

    Data keseluruhan dianalisa secara konten analisa, yakni analisa yang lebih difokuskan pada isi dari suatu wacana. Langkah-langkah yang dilakukan adalah mencatat dialog dan mengklasifikasikan bentuk pragmatik tindak tutur serta penggunaannya pada novel tersebut. Berkaitan dengan itu, hasil paparan disajikan dalam bentuk tabel klasifikasi dan frekuensi kemunculannya dinyatakan dalam persentase.


 

Untuk Bab 4 Hasil dan Pembahasan dapat didownload di link berikut:

http://www.ziddu.com/download/9590191/Bab4tulisanUTS.docx.html


 

4.2.    Persentase

    Berdasarkan tabel klasifikasi bentuk pragmatik tindak tutur pada dialog novel "The Bookaholic Club" di atas, maka kita dapat menegtahui bahwa bentuk pragmatik tindak tutur sering digunakan oleh penulis dalam menuliskan dialog-dialog dalam novel tersebut.

Berikut adalah hasil perhitungan per tabel :

  • Tabel 1
    • Lokusi    :    50%
    • Ilokusi    :    25%
    • Perlokusi    :    25%
  • Tabel 2
    • Lokusi    :    28,57%
    • Ilokusi    :    28,57%
    • Perlokusi    :    42,86%
  • Tabel 3
    • Lokusi    :    37,5%
    • Ilokusi    :    37,5%
    • Perlokusi    :    25%
  • Tabel 4
    • Lokusi    :    14,29%
    • Ilokusi    :    57,14%
    • Perlokusi    :    28,57%

    Berikut hasil perhitungan keseluruhan :

  • Lokusi        :    36,84%
  • Ilokusi        :    34,21%
  • Perlokusi        :    28,95%

    4.3.    Interpretasi

    Berdasarkan Persentase di atas, terlihat bahwa bentuk pragmatik tindak tutur Lokusi-lah yang paling banyak muncul dengan persentase kemunculannya hingga 36,84%. Di urutan kedua ada tindak tutur ilokusi dengan persentase hingga 34,21% dan yang paling sedikit muncul adalah tindak tutur perlokusi yakni hanya 28,95%.


 

BAB 5

PENUTUP

5.1.    Kesimpulan

    Kesimpulan yang diperoleh setelah penelitian kecil ini dilakukan adalah sebagai berikut :

  • Bentuk pragmatik berdasarkan tindak tutur dibedakan menjadi tiga, yaitu Lokui, Ilokusi, dan Perlokusi.
  • Setelah diteliti ternyata dalam wacana tulis novel "The Bookaholic Club" karya Poppy D. Chusfani banyak terdapat bentuk pragmatik tindak tutur.
  • Berdasarkan analisis dan tabel klasifikasi yang telah dilakukan di atas terhadap dialog dalam novel tersebut, ternyata tindak tutur "LOKUSI-lah" yang paling banyak muncul dengan persentase 36,84%. Dan yang paling sedikit muncul adalah tindak tutur "PERLOKUSI" dengan persentase 28,95%.

    5.2.    Saran

    Setelah kita mengetahui bentuk pragmatik yang dianalisis dalam makalah ini dan memahaminya, sebaiknya kini kita menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari melalui komunikasi dengan orang lain, baik lisan maupun dalam bentuk tulisan. Karena akan lebih baik atau sopan bila kita menggunakannya


 

DAFTAR PUSTAKA

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Rahardi, R. Kunjana. 2005. PRAGMATIK: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Chaniago, Sam Mukhtar. 1997. Materi Pokok Pragmatik. Jakarta: Universitas Terbuka

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Trisaparudin. 2010. Makalah Pragmatik. www.scribd.com, diakses pada 21 Maret 2010.

Tugas UTS 1 Mata Kuliah Pragmatik

ANALISIS MAKSIM KERJASAMA

pada Dialog Film "Emak Ingin Naik Haji"

karya Aditya Gumay

Sebuah Makalah Pragmatik Wacana Lisan

Tugas 2


 

Mata Kuliah:

Pragmatik



 


 


 


 


 


 


 


 

Dosen:

Drs. Sam Mukhtar Chaniago, M.Si.


 

Disusun oleh:

Nurmala Sari        2115081299

Gita Rosi Wulandari    2115081326

Kelas: 2A


 


 

Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Bahasa dan Seni

Universitas Negeri Jakarta

2010


 

KATA PENGANTAR

    Assalamu'alaikum Wr. Wb.

    Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

    Penyusunan makalah ini ditujukan guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) untuk mata kuliah Pragmatik. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada pembimbing kami, dosen Pragmatik, Bapak Sam Mukhtar Chaniago, M.Si. dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses pembuatan makalah ini.

Demi kesempurnaan makalah ini penulis menerima kritik dan saran dari seluruh pihak dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

    Wassalamu'alaikum Wr.Wb.


 

                            Jakarta, Maret 2010

                                            Penulis


 

DAFTAR ISI

Halaman judul        …………………………………………………………        i

Kata pengantar    …………………………………………………………        ii

Daftar Isi    …………………………………………………………………        iii

BAB    1    PENDAHULUAN    ............………………………………….......        1

  1. Latar Belakang    ....................................................................        1
  2. Tujuan    ................................................................................        2
  3. Rumusan Masalah        .........................................................        2

BAB    2    LANDASAN TEORI    .........................................................        3

    2.1.    Hakikat Pragmatik        .........................................................        3

    2.2.    Aspek-aspek Pragmatik    .........................................................        4

    2.3.    Maksim Kerjasama    ...........................................................        5

BAB    3    METODOLOGI PENELITIAN    ................................................    8

    3.1.    Identitas Film dan Sinopsis        ................................................    8

    3.2.    Teknik Pengumpulan Data    ................................................    9

    3.3.    Teknik Analisa Data    ...........................................................        9

BAB    4    HASIL DAN PEMBAHASAN    ................................................    10

    4.1.    Tabel Klasifikasi        ............................................................    10

    4.2.    Persentase        ........................................................................    19

    4.3.    Interpretasi        .........................................................................    20

BAB    5    PENUTUP        ......................................................................        21

    5.1.    Kesimpulan        ......................................................................        21

    5.2.    Saran    .................................................................................        21

Daftar Pustaka    ................................................................................        22


 

BAB 1

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya. Di dalam berbicara, penutur dan mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu (Allan dalam Putu,1996).

Saat ini ilmu pragmatik sudah tidak asing lagi di telinga. Ilmu ini muncul untuk menangani ilmu-ilmu kebahasaan lainnya yang mulai "angkat tangan" terhadap tuturan yang secara struktur melanggar kaidah atau tidak sesuai dengan prinsip.

Pernyataan Allan yang berbunyi "Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu…", menggambarkan bahwa penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan sering terjadi. Penyimpangan dalam tuturan memang sering terjadi, baik itu secara struktur kalimat atau pun terhadap prinsip. Penyimpangan terhadap struktur kalimat sudah tentu dapat diatasi oleh ilmu sintaksis dan "kawan-kawan", namun beda lagi dengan pelanggaran terhadap prinsip. Pelanggaran terhadap prinsip ini hubungannya dengan makna secara eksternal dan situasi tuturan, sehingga ilmu yang cocok untuk menangani masalah ini adalah ilmu pragmatik.

Untuk lebih memahami prinsip yang berkenaan dengan kaidah berbahasa itulah penulis melakukan analisa maksim kerjasama pada dialog film "Emak Ingin Naik Haji" karya Aditya Gumay yang merupakan adaptasi dan pengembangan dari cerpen berjudul sama karya Asma Nadia.

  1. Tujuan

Penelitian ini memiliki dua tujuan yakni tujuan umum dan khusus, adapun tujuan umumnya adalah untuk mengklasifikasikan maksim kerjasama pada film "Emak Ingin Naik Haji" karya Aditya Gumay. Sedangkan tujuan khususnya antara lain ;

  • Mengklasifikasikan maksim kuantitas dalam dialog film "Emak Ingin Naik Haji" Karya Aditya Gumay.
  • Mengklasifikasikan maksim kualitas dalam dialog film "Emak Ingin Naik Haji" Karya Aditya Gumay.
  • Mengklasifikasikan maksim relevansi dalam dialog film "Emak Ingin Naik Haji" Karya Aditya Gumay.
  • Mengklasifikasikan maksim cara dalam dialog film "Emak Ingin Naik Haji" Karya Aditya Gumay.
  1. Rumusan Masalah

Adapun rumusan permasalahan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

  • Bagaimanakah penerapan dan penyimpangan maksim kuantitas dalam film "Emak Ingin Naik Haji" karya Aditya Gumay ?
  • Bagaimanakah penerapan dan penyimpangan maksim kualitas dalam film "Emak Ingin Naik Haji" karya Aditya Gumay ?
  • Bagaimanakah penerapan dan penyimpangan maksim relevansi dalam film "Emak Ingin Naik Haji" karya Aditya Gumay ?
  • Bagaimanakah penerapan dan penyimpangan maksim cara dalam film "Emak Ingin Naik Haji" karya Aditya Gumay ?

  •  

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1.    Hakikat Pragmatik

Pragmatik mulai berkembang dalam bidang kajian linguistik pada tahun 1970-an. Kehadirannya dilatarbelakangi oleh adanya ketidakpuasan terhadap kaum strukturalis yang hanya mengkaji bahasa dari segi bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan kebahasaan itu sebenarnya hadir dalam konteks yang bersifat lingual maupun extralingual. Diabaikannya konteks tuturan menyebabkan kaum strukturalis gagal menjelaskan berbagai masalah kebahasaan, di antaranya adalah masalah kalimat anomali.

Perkembangan lebih lanjut tentang pragmatik memunculkan berbagai batasan. Leech dalam terjemahan Oka (1993:32) mengemukakan bahwa, "Pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar atau speech situations." Lubis (1991:4) menambahkan bahwa bahasa merupakan gejala sosial dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor linguistik saja seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi.

Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1987:33), pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata lain, pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat. Pendapat lain dikemukakan oleh Wijana (1996:14) yang mengatakan bahwa pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau injeksi. Ia juga mengatakan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi.

Rustono (1999:5) mengatakan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan timbal balik antara fungsi dan bentuk tuturan. Gunarwan dalam Rustono (1999:4) menambahkan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji hubungan (timbal balik) fungsi ujaran dan bentuk (struktur) kalimat yang mengungkapkan ujaran.

Beberapa pendapat di atas walaupun dengan pernyataan yang berbeda tetapi pada dasarnya menunjukkan kesamaan pandangan, sebab kajian pragmatik mengacu pada penggunaan bahasa dalam kaitannya dengan konteks. Jadi dapat disimpulkan, pragmatik adalah ilmu yang menelaah bagaimana keberadaan konteks mempengaruhi dalam menafsirkan kalimat. Di sinilah letak perbedaan pragmatik dengan semantik, sebab telaah semantik bersifat bebas konteks. Dengan kata lain, persoalan yang dikaji oleh semantik adalah makna kata-kata yang dituturkan, dan bukan maksud tuturan penutur. Analisis terhadap humor Nasruddin sangat tepat bila menggunakan pendekatan pragmatik. Untuk memahami bahwa humor-humor Nasruddin tidak semata-mata untuk melucu tetapi juga mengandung maksud dan tujuan, diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melatarbelakangi humor tersebut. Pemahaman terhadap konteks merupakan salah satu ciri pendekatan pragmatik.

2.2.    Aspek-aspek Pragmatik

Beberapa aspek situasi tutur seperti di bawah ini:

  • Penutur dan lawan tutur

    Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek tersebut adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

  • Konteks tuturan

    Konteks di sini meliputi semua latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan lawan tutur, serta yang menunjang interpretasi lawan tutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.


     

  • Tujuan tuturan

    Setiap situasi tuturan atau ucapan tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu pula. Kedua belah pihak yaitu penutur dan lawan tutur terlibat dalam suatu kegiatan yang berorientasi pada tujuan tertentu.

  • Tuturan sebagai bentuk tindakan dan kegiatan tindak tutur

    Dalam pragmatik ucapan dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan yaitu kegiatan tindak ujar. Pragmatik menggarap tindak-tindak verbal atau performansi-performansi yang berlangsung di dalam situasi-situasi khusus dalam waktu tertentu.

  • Tuturan sebagai produk tindak verbal

    Dalam pragmatik tuturan mengacu kepada produk suatu tindak verbal, dan bukan hanya pada tindak verbalnya itu sendiri. Jadi yang dikaji oleh pragmatik bukan hanya tindak ilokusi, tetapi juga makna atau kekuatan ilokusinya.(Leech, 1993:19)

Pertimbangan aspek-aspek situasi tutur seperti di atas dapat menjelaskan keberkaitan antara konteks tuturan dengan maksud yang ingin dikomunikasikan.

2.3.    Maksim Kerjasama

Dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), serta selalu pada persoalan (straight forward), sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya.

Bila dalam suatu percakapan terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerjasama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat diasumsikan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi itu berjalan lancar.

Grice berpendapat bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).

a. Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya atau pembicara memberikan informasi yang cukup, relatif dan seinformatif mungkin.

Contoh yang sesuai:

    A : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?

    B : Ya, sudah.

Contoh yang tidak sesuai:

    A : Apakah Anda sudah mengerjakan tugas?

B : Belum. Kemarin saya berlibur di rumah nenek di Yogya. Sampai rumah sudah larut sehingga saya tidak sempat mengerjakan tugas.

b. Maksim Kualitas

Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan sesuatu yang nyata dan sesuai dengan fakta sebenarnya. Kontribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Apabila patuh pada prinsip ini, jangan pernah mengatakan sesuatu yang diyakini bahwa itu kurang benar atau tidak benar.

Contoh yang sesuai:

    A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?

    B : di ITB.

Contoh yang tidak sesuai:

    A : Kamu tahu, Eko kuliah dimana?

    B : Dia tidak kuliah di UNJ seperti kita, tapi di ITB.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur dapat memberikan kontribusi yang relevan (sesuai) tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan.

Contoh yang sesuai:

    A : Dimana kotak permenku?

    B : Di kamar belajarmu.

Contoh yang tidak sesuai:

    A : Dimana kotak permenku?

    B : Saya harus segera pergi kuliah.

d. Maksim Cara

Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut.

Contoh yang sesuai:

    A : Siapa teman Anda yang orang Korea itu?

    B : KIM EOK SOO

Contoh yang tidak sesuai:

A : Siapa teman Anda yang orang Korea itu?

    B : K-I-M E-O-K S-O-O


 

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.    Identitas Film dan Sinopsis

    Judul Film    :    Emak Ingin Naik Haji

Jenis Film    :    Drama

Produser     :    Putut Widjanarko, Adenin Adlan

Sutradara     :    Aditya Gumay

Penulis     :    Adenin Adlan

Aditya Gumay

Produksi    :    Mizan Productions & Smaradhana Pro

Pemain     :    Atik Kanser

Reza Rahadian
Didi Petet
Niniek L. Karim
Ayu Pratiwi
Henidar Amroe
Ustad Jeffry Al Bukhori

Sinopsis

Emak, seorang wanita berusia lanjut yang sabar, tulus, dan penuh kebaikan hati, seperti umat Islam lainnya, sangat ingin menunaikan ibadah haji. Sayangnya, Emak tidak memiliki biaya untuk mewujudkan keinginannya. Kehidupan Emak sehari-hari hanya bergantung pada hasil jualan kue. Ada juga sedikit tambahan uang dari Zein, anaknya yang duda, penjual lukisan keliling. Walaupun Emak tahu bahwa pergi haji adalah salah satu hal yang mungkin sulit diraih, Emak tidak putus asa, dia tetap mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk disetorkan ke tabungan haji di bank. Zein, yang melihat kegigihan Emak, berusaha dengan berbagai cara untuk dapat mewujudkan keinginan Emak. Tapi, keterbatasannya sebagai penjual lukisan keliling, serta masalah-masalah yang diwarisinya dari perkawinannya yang gagal, menyebabkan Zein hampir-hampir putus asa dan nekat. Sementara, tetangga Emak yang kaya raya sudah beberapa kali menunaikan haji, apalagi pergi umroh. Di tempat lain ada orang berniat menunaikan haji hanya untuk kepentingan politik.

Apakah ada jalan bagi Emak agar keinginannya terwujud? Apakah yang dilakukan Zein? Film ini berkisah tentang ketulusan hati dan kerinduan kepada Tuhan, serta kecintaan luar biasa seorang anak kepada ibunya.

3.2.    Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan tabel, yang terdiri atas percakapan, maksim kerjasama kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Percakapan yang dijadikan data analisis tidak semua diambil dari film "Emak Ingin Naik Haji" seluruhnya, tetapi hanya sedikit sampel dialog yang diambil dengan cara random.

Dibawah ini merupakan tabel klasifikasi yang akan dijadikan panduan.

N

O

Percakapan

Maksim Kerjasama

Keterangan

Kuan titas 

Kua litas 

Rele vansi 

Cara 

         
         


 

3.3.    Teknik Analisa Data

Data keseluruhan dianalisa secara konten analisa, yakni analisa yang lebih difokuskan pada isi dari suatu wacana. Langkah-langkah yang dilakukan adalah mencatat dialog dan mengklasifikasikan bentuk pragmatik kerjasama serta penggunaannya pada film tersebut. Berkaitan dengan itu, hasil paparan disajikan dalam bentuk tabel klasifikasi dan frekuensi kemunculannya dinyatakan dalam persentase.


 

Untuk Bab 4 Hasil dan Pembahasan dapat di download di link berikut:

http://www.ziddu.com/download/9590053/Bab4HasildanPembahasan.docx.html


 

4.2.    Persentase

    Berdasarkan tabel klasifikasi bentuk pragmatik kerjasama pada dialog film "Emak Ingin Naik Haji" di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa bentuk pragmatik kerjasama, baik mematuhi maupun melanggar sering digunakan oleh penutur dalam menuturkan dialog-dialog dalam adegan film tersebut.    

Berikut adalah hasil perhitungan per tabel :

  • Tabel 1
    • Kuantitas    :    50%
    • Kualitas    :    -
    • Relevansi    :    33,33%
    • Cara        :    16,67%
  • Tabel 2
    • Kuantitas    :    66,67%
    • Kualitas    :    -
    • Relevansi    :    -
    • Cara        :    33,33%
  • Tabel 3
    • Kuantitas    :    87,5%
    • Kualitas    :    -
    • Relevansi    :    -
    • Cara        :    12,5%
  • Tabel 4
    • Kuantitas    :    66,67%
    • Kualitas    :    -
    • Relevansi    :    -
    • Cara        :    33,33%
  • Tabel 5
    • Kuantitas    :    60%
    • Kualitas    :    20%
    • Relevansi    :    -
    • Cara        :    20%
  • Tabel 6
    • Kuantitas    :    100%
    • Kualitas    :    -
    • Relevansi    :    -
    • Cara        :    -

    Berikut hasil perhitungan keseluruhan :

  • Kuantitas        :    22/31    x 100 = 70,97%
  • Kualitas        :    1/31    x 100 = 3,23%
  • Relevansi    :    2/31    x 100 = 6,45%
  • Cara        :    6/31    x 100 = 19,35%

MEMATUHI 

MELANGGAR 

Kuantitas : 13/31 x 100 = 41,94% 

Kuantitas : 9/31 x 100 = 29,03% 

Kualitas : - 

Kualitas : 1/31 x 100 = 3,23% 

Relevansi : 2/31 x 100 = 6,45% 

Relevansi : - 

Cara : 3/31 x 100 = 9,675%

Cara : 3/31 x 100 = 9,675% 


 

4.3.    Interpretasi

    Berdasarkan Persentase di atas, terlihat bahwa bentuk pragmatik kerjasama Kuantitas-lah yang paling banyak muncul dengan dominasi persentase kemunculannya hingga 70,97%. Persentase kemunculan maksim kuantitas ini dapat diperinci menjadi banyaknya yang mematuhi yakni persentasenya mencapai 41,94% dan yang melanggar hanya mencapai 29,03%.


 

BAB 5

PENUTUP

5.1.    Kesimpulan

    Kesimpulan yang diperoleh setelah penelitian kecil ini dilakukan adalah sebagai berikut :

  • Bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerjasama terbagi menjadi empat maksim, yaitu kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara.
  • Setelah diteliti ternyata dalam wacana lisan film "Emak Ingin Naik Haji" karya Aditya Gumay banyak terdapat maksim kerjasama.
  • Berdasarkan analisis dan tabel klasifikasi yang telah dilakukan di atas terhadap dialog dalam film tersebut, ternyata maksim "KUANTITAS-lah" yang paling banyak muncul dengan persentase 70,97% dengan rincian yang mematuhi 41,94% dan yang melanggar 29,03%.

    5.2.    Saran

    Setelah kita mengetahui bentuk pragmatik yang dianalisis dalam makalah ini dan memahaminya, sebaiknya kini kita menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari melalui komunikasi dengan orang lain, baik lisan maupun dalam bentuk tulisan. Karena maksim kerjasama ini akan memperlancar komunikasi kita.


 

DAFTAR PUSTAKA


 

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa

Rahardi, R. Kunjana. 2005. PRAGMATIK: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Chaniago, Sam Mukhtar. 1997. Materi Pokok Pragmatik. Jakarta: Universitas Terbuka

Trisaparudin. 2010. Makalah Pragmatik. www.scribd.com, diakses pada 21 Maret 2010.

http://www.21cineplex.com/emak-ingin-naik-haji,movie,2175.htm, diakses pada 28 Maret 2010

http://emakinginnaikhaji.multiply.com/, diakses pada 28 Maret 2010.